Kamis, 18 Juni 2009

karo dimata masyarakat Tengger

KARO DIMATA MASYARAKAT TENGGER

Oleh : Drs. Nanang Muryanto

(Kepala Suku / kepalaKUA Senduro Kab. Lumajang)

Upacara adat ini (KARO) diperingati/dirayakan seluruh masyarakat Tengger dengan tidak membedakan agama, baik Islam, Hindu maupun Kristen. Pelaksanaan upacara KARO ini dilakukan pada pagi hari berupa selametan yang dipimpin oleh pemuka adat Tengger di masing-masing Dusun. Setelah selesai acara tersebut dilanjutkan dengan hiburan kesenian tradisonal yang berupa Tayub yang difasilitasi oleh pemerintah Desa. Disamping hiburan yang ada juga diadakan anjangsana (silaturrohmi) sesama warga atau tetangga layaknya hari raya Idulfitri, dengan suguhan beraneka macam makanan yang siap untuk dimakan. Sedangkan pendanaan kegiatan KARO tersebut didapatkan dari swadaya masyarakat Tengger dan dana partisipasi Desa.

Inti daripada hari raya Karo ini bukan merupakan kegiatan keagamaan karena didalam agama tidak ada tuntunan dan tidak dilaksanakan oleh agama apapun dibelahan muka bumi ini baik agama hindu, agama Budha, Agama Kristen, Agama Konghucu, demikian juga Islam Namun Karo oleh masyarakat di anggap sebagai Hari Raya Adat yang itu hanya dimiliki khusus masyarakat Tengger.Hari raya Karo merupakan bukti Penghormatan Kepada Leluhur yang ada dikawasan Tengger.

Adapun yang mereka tokohkan atau dianggap sebagai leluhur adalah dua nama orang yakni : 1. Diah Ayu ( RORO ANTENG ) dan 2. Joko Seger, nama orang tersebut merupakan cikal bakal orang suku Tengger yang diambil dari suku kata terakhir dari nama masing – masing tokoh tokoh tersebut yakni ” TENG ” dari kata Anteng dan ” GER ” dari kata Seger,Daari sinilah akhirnya muncul sebutan kata atau nama TENGGER.

Asal mulanya karo terjadi pada tahun -+ 1418 M.Yang semula mengadakan karo ini adalah keturunan dari DURO dan SEMBODO. DURO dan SEMBODO merupakam kader atau keturunan dari RORO ANTENG dan JOKO SEGER. DURO dan SEMBODO sendiri adalah pengikut setia dari Sang AJI SOKO.Adapun AJI SOKO adalah orang yang mendapat wangsit dari sang Pencipta yang isinya untuk memberantas Angkara Murka di Kerajaan Tanjung Anom yang berada diantara kerajaan Kediri dan Singosari. Sedangkan pada saat itu Kerajaan Tanjung Anom dipimpin oleh seorang raja yang bernama DEWO KACENGKAR dengan sosok yang sangat mengerikan dengan wujud setengah Manusia dan setengah Raksasa, dan setiap harinya raja tersebut harus makan rakyatnya (Manusia ).

Adapun legenda singkatnya sebagai berikut :

Ketika wangsit itu diterima sang AJISOKO, maka segeralah beliau berangkat memberantas angkara murka yang dilakukan oleh raja Dewo Kacengkar yang berada di tanjung anom. Beliau berangkat dengan 2 orang pengawalnya Duro dan Sembodo. Sembodo disuruh menunggu di perbatasan antara Ranupani dan Malang tepatnya di jemplang yaitu sebuah perempatan yang membelah Hutan Ranupani – Malang dan lautan pasir yang membentang luas di lereng gunung Bromo dengan tujuan menerima perintah untuk menjaga ketentraman masyarakat Tengger. Sedangkan Duro ikut Ajisoko masuk Tanjung Anom dengan menyamar sebagai gelandangan yang nyuwito ( Ngenger / ngawulo { Istilah Jawa }/ mengabdi ) terhadap Kerajaan Tanjung Anom dengan tujuan untuk memyelidiki kebenaran berita bahwa raja DEWO KACENGKAR tiap hari makan manusia. Setelah beliau tahu realita yang terjadi, AJISOKO menyusun rencana dengan menjelma sebagai pemuda yang berparas tampan dan muda belia dengan menawarkan diri kepada DEWOKAJENGKAR yang siap untuk menjadi santapannya, namun ada persyaratan yang diajukan oleh AJISOKO, bahwa Ia siap untuk dimakan di pantai Selatan tepatnya di pantai Sendang Biru yaitu daerah yang tepatnya di kawasan Turen Malang. Setelah sampai di laut mendadak di tengah – tengah persiapan prosesi makan, AJI SOKO menerima wangsit / perintah Gaib bahwa saat itu AJI SOKO harus menendang pusar ( Udel : Jawa ) DEWO KACENGKAR. Sontak DEWO KAJENGKAR menjadi berang kemudian terjadilah adu kesaktian diantara keduanya itu, dalam adu kesaktian tersebut AJI SOKO terdesak kalah dan segera mundur dari peperangan menuju daerah Singosari. DEWO KACENGKAR tidak dapat mengejar AJI SOKO. Dia ( DEWO KACENGKAR ) lupa bahwa memandang laut adalah pantangan bagi dirinya karena terbuai dengan ketampanan AJI SOKO, dan itu adalah sebuah pelanggaran terhadap dirinya sendiri. Maka setelah terjadi peperangan tersebut DEWO KACENGKAR tidak bisa lagi kembali ke kerajaan Tanjung Anom hanya bisa bertahan di sekitar pantai Selatan sambil sesumbar dengan menantang AJI SOKO supaya melanjutkan peperangan di laut Selatan. DEWO KACENGKAR menyesali perbuatannya karena mendekati laut Selatan, sehingga Ia tidak dapat kembali ke karajaan Tanjung Anom .

Begitu gembiranya masyarakat kerajaan Tanjung Anom mendengar kabar bahwa DEWO KACENGKAR melanggar sumpahnya dan tidak bisa kembali lagi ke kerajaannya, dan meminta agar supaya AJI SOKO menjadi raja di kerajaan TANJUNG ANOM dengan catatan harus bisa membunuh DEWO KACENGKAR. AJI SOKO bersedia dan beliau teringat dengan wangsit yang beliau terima, bahwa DEWO KACENGKAR tidak bisa di kalahkan tanpa pusaka atau Codrek ( jawa ) yang dibawa oleh seorang pengawalnya yang bernama SEMBODO, maka diutuslah DURO untuk mengambil pusaka tersebut yang ada di tangan SEMBODO dengan menerima pesan ”Jangan kembali kekerajaan Tanjung anom sebelum membawa pusaka dari tangan Sembodo.” DURO berangkat menemui SEMBODO untuk mengambil pusaka tersebut, tetapi SEMBODO tidak memberikan pusaka tadi dengan alasan bahwa sang AJISOKO telah wanti-wanti (berpesan ) pada dirinya agar tidak memberikan pusaka tersebut kepada orang lain kecuali sang AJISOKO sendiri yang mengambilnya. Maka terjadilah perdebatan yang berakhir dengan peperangan (perang saudara) antara DURO dan SEMBODO, karena keduanya sama-sama sakti akhirnya kedua kesatria tersebut menemui ajal.

Ketika AJISOKO yang berada di TANJUNG ANOM mendapatkan kabar tentang kondisi kedua abdinya yang telah meninggal dunia tersebut. Beliau merasa bersalah dan menyesalkan kejadian tersebut, sebab hal itu terjadi karena adanya dua perintah beliau yang bertentangan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu untuk mengingat dan mengenang kedua abdinya maka AJISOKO mencari inspirasi dengan cara bermeditasi sejenak. Maka ketika beliau melakukan meditasi tiba-tiba terpancarlah sinar suci diatas kedua jasad abdinya yang berbunyi ” ADA UTUSAN UNTUK SALING BERPERANG YANG KEDUANYA SAMA-SAMA SAKTI DAN KEDUA-DUANYA SAMA-SAMA MENINGGAL DUNIA”. Maka itulah yang sampai sekarang dijadikan pedoman orang jawa (tengger) sebagai asal muasal AKSARA JAWA (huruf jawa) yaitu: ” HO, NO, CO, RO, KO yang artinya {ADA UTUSAN), sedangkan DO, TO, SO, WO, LO artinya (SALING BERPERANG), PO, DO, JO, YO, NYO artinya (SAMA-SAMA SAKTI), MO, GO, BO, TO, NGO artinya (SAMA-SAMA MENINGGAL DUNIA). Kemudian masyarakat tengger setiap tahunya selalu memperingati kejadian tersebut dengan melakukan upacara adat yang dikenal dengan istilah KARO. Dimana istilah KARO ini diambil dari bahasa Jawa yang mempunyai arti KEDUA-DUANYA. Adapun upacara adat tersebut bertujuan untuk memperingati atau menghormati roh kedua Abdi/Pengawal AJISOKO yaitu DURO dan SEMBODO. Demikian sekilas pandang upacara adat KARO masyarakat Tengger. (dikutip oleh Pandawalima6)

2 komentar:

  1. assalamu'alaikum,wr,wb....
    mohon ijin pak, kenalkan nama saya,Rusli
    Kepala Perwakilan Hukum & Kriminal wilayah Jawa Timur.
    konfirmasi, katanya Pendawa lima barusan di panggil Kabag TU Kanwil Depag Prov Jatim, yang kami tanyakan, dalam rangka apa Pendawalima dipanggil dan apa saja pertanyaan Kabag TU ? trims.

    BalasHapus
  2. kalau dipernankan kami minta foto pendowolima (drs. Edy Mulyadi, drs. Nanang Muryanto, drs. Ghofir, drs. Mahfudz, drs. Sutaji )
    trims...

    BalasHapus